Gelora Nurani – Arif Novianto

Mencoba mengukir lengkokan tinta-tinta perlawanan untuk menyampaikan segala ketidak-adilan dan memperjuangkan kebenaran

Harta, Takhta dan Wanita

Suara Merdeka 08 Maret 2015

Sumber: Epaper Suara Merdeka 08 Maret 2015

Selama hampir setahun terakhir, film Mahabarata produksi India yang ditayangkan dalam salah satu stasiun televisi lokal Indonesia memperoleh rating tinggi artinya banyak digemari oleh masyarakat. Namun entah mengapa saya tidak sedikitpun tertarik untuk menontonnya. Alasannya sederhana, karena dalam kisah Mahabarata di film tersebut tidak memperlihatkan dinamika kehidupan rakyat kecil dan hanya berkutat pada perebutan “Harta, Tahta dan Wanita”.

Cerita Mahabarata memang adalah warisan budaya feodal dan bersifat patriarkis. Di dalamnya ada pengkotak-kotakan secara harfiah terhadap kehidupan manusia. Ceritanya hanya berisi kegaduhan dari elit untuk memperebutkan “Harta, Tahta dan Wanita”. Itu adalah kebudayaan elit yang tak menampakan dinamika kesulitan hidup rakyat. Sudut pandangnya yang dari kelas atas membuat masyarakat yang menontonnya hanya dibimbing untuk menginternalisasi nilai-nilai ketimpangan dan pengkotak-kotakan tidak untuk mencapai kesadaran akan realita kehidupan yang ada.

Cerita Mahabarata & Ramayana versi India sedikit banyak berbeda dengan versi Jawa. Itu karena penyebaran cerita tersebut yang dibawa oleh para Brahmana juga diiringi penaklukan terhadap budaya jawa kuno.
Itu dapat telihat contohnya dari sosok Bhatari Durga. Sosok Bhatari Durga di Jawa digambarkan sebagai seorang wanita jahat dan kejam yang sangat ditakuti.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan di India, yang menggambarkan Bhatari Durga sebagai pengayom yang begitu kuat dan dihormati serta sebagai sosok wanita penumpas berbagai kejahatan.
Perbedaan tersebut terjadi karena adanya pertempuran dari dua arus kebudayaan yang berbeda. Sebagaimana yang diungkapkan Pramoedya A.T bahwa kebudayaan Jawa Kuno itu sebenarnya bersifat “matrifokus” sedangkan kebudayaan yang dibawa oleh para kaum Brahmana dari India bersifat “patriarkis”. Hal tersebut membuat adanya pertarungan.

Cerita Jawa yang menggambarkan Bhatari Durga sebagai sosok jahat adalah wujud dari kekalahan budaya Jawa. Karena menjadikan Bhatari Durga sebagai tokoh antagonis adalah gambaran dari upaya menundukan wanita dari segi sosial-politik di jaman Jawa Kuno. Langkah membangun “patriarki” tersebut adalah dengan cara politik kebudayaan salah satunya.

Itulah mengapa berbagai cerita budaya sejarah saat ini dipenuhi dengan sudut pandang patriarkis dan elitis, karena penyebaran cerita dan kebudayaan selalu dilakukan oleh mereka yang menang. Sedangkan yang kalah akan dikambing hitamkan.

Kisah seperti Mahabarata dan Ramayana di Jawa salah satunya dibawakan melalui media Wayang. Dalam wayang kulit, “dalang” merupakan penggerak cerita dan tokoh sentral dalam setiap pertunjukan. Upaya untuk menjadikan berbagai cerita tersebut sebagai kebudayaan rakyat pernah dilakukan salah satunya oleh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) pada tahun paska-kemerdekaan Indonesia sampai sekitar tahun 1965.

Lekra berupaya untuk meruntuhkan pakem-pakem feodal dan elitis yang hanya menceritakan perebutan “Harta, Tahta dan Wanita” semata dari para penguasa. Mereka berupaya mengubah dan mendorong cerita-cerita yang mengangkat kebudayaan rakyat yaitu seperti kisah-kisah realita di tengah masyarakat yang berisi berbagai pesan dan kritik sosial. Seperti dengan menggambarkan lakon Ramayana bahwa Rama merepresentasikan kekuatan rakyat sedangkan Rahwana merepresentasikan kekuatan elit yang serakah. Melalui berbagai gerakan politik maka Rama bersama rakyat berhasil mengalahkan Rahwana. Itu sebagai petunjuk bahwa kedaulatan rakyat itu yang paling utama.

Selain itu berbagai lakon carangan (tidak sesuai pakem) yang dikembangkan oleh para pujangga atau seniman pewayangan Indonesia juga membawa upaya “titik pembalikan”. Seperti lakon “Petruk Dadi Ratu”, “Semar Mbangun Kahyangan”, dan “Semar Gugat”. Lakon-lakon tersebut berisi cerita bagaimana rakyat kecil bergerak dan terjun dalam dunia politik untuk mengingatkan dan menggulingkan para pemimpin otoriter yang menyengsarakan rakyat. Itulah mengapa saya lebih menyukai menonton wayang kulit lakon tertentu secara berjam-jam dibanding film Mahabarata di stasiun TV swasta Nasional.

Tulisan esai ini sebelumnya telah dimuat di rubrik Pamomong Koran Suara Merdeka, Minggu 08 Maret 2015.

Leave a comment