Gelora Nurani – Arif Novianto

Mencoba mengukir lengkokan tinta-tinta perlawanan untuk menyampaikan segala ketidak-adilan dan memperjuangkan kebenaran

Sang Pemikir & Jiwa-jiwa Pemberontak: Membawa Wayang ke Bumi Manusia

Catatan dari Pementasan “Parikesit Jumeneng Ratu” yang dibawakan Oleh Ki Enthus Susmono pada 05 September 2015, Live di lapangan TVRI Jogja

Wayang - Parikesit Jumeneng RatuBaratayudha yang menang pandawa dan yang kalah kurawa secara tertulis memang benar. Itu hanya syariat dan ilmu itu ada tarikat, makrifat,lan Hakikat. Lha saya akan menuju ke hakikatnya langsung saja, yaitu bahwa hakikatnya baratayudha yang menang adalah Kresna. Kresnalah yang telah membuat kebohongan sejarah Barathayuda dan ketahuilah Prabu Pancakusuma, bahwa yang berhak atas tahta Astina itu kamu bukan Parikesit si bocah ingusan yang dikarbit Kresna untuk jadi Raja karena masih keturunan Kresna.

(Kertiwindu – anak dari Sengkuni)

Ditengah dinginnya Jogja, acara pertunjukan Wayang Kulit dalam memperingati Ultah TVRI Jogja malam itu berlangsung cukup meriah. Pertunjukan yang mengambil lakon (cerita) “Parikesit Jumeneng Ratu” dibawakan dengan cukup apik dan berbeda oleh Ki Enthus Susmono, salah seorang dalang favorit saya selain Ki Narto Sabdho, Ki Manteb dan Ki Sigit Arianto. Para penonton dibuat terhenyak dengan alur cerita, guyonan dan juga tak lupa satir-satir yang disematkan dalam setiap dialog antar tokoh.

Lakon “Parikesit Jumeneng Ratu” ini bercerita tentang diangkatnya Parikesit menjadi Ratu di negara Astina. Ki Enthus menggubah alur cerita-nya sendiri dan tak mengikuti cerita dari pakem pewayangan yaitu kitab Ramayana dan Mahabarata. Memang ada perdebatan serius didunia pedalangan terkait pakem ini. Tapi yang pasti permasalahannya tidak terletak pada kebenaran cerita yang versi mana, akan tetapi tentang bagaimana cerita yang dibawakan memuat nilai-nilai sosial, kritik kehidupan dan membumi mengangkat permasalahan di tengah masyarakat.

Artinya yang terpenting dan mendesak dilakukan bukanlah menjadikan Wayang hanya sekedar dongeng yang membawa muatan budaya lama yang tak lagi sesuai dengan aras politik sekarang, akan tetapi harus mampu mengakar diatas bumi manusia yang nyata. Pakem pedalangan lama yang lahir ditengah budaya feodal atau budaya monarki absolut memang membuat ceritanya hanya berkutat ditiga hal: harta, tahta dan wanita. Upaya internalisasi idiologisnya adalah kekuasaan hanya bisa didapatkan dengan croott-an air mani sang Raja, ada takdir yang tak bisa ditentang, cerita yang dilihat dari kacamata kelas atas, rakyat tak ada peran sedikitpun dalam cerita (namun dijawa ada sosok Punakawan sebagai representasi rakyat) dan wanita tugasnya hanya di dapur, sumur dan kasur.

Sebagai penikmat tontonan yang melekat dihati masyarakat Jawa ini, saya kecewa jika melihat seorang dalang menjalankan cerita dari kacamata elit dan tak mampu memasukan muatan-muatan persoalan serta kritik yang ada ditengah masyarakat.

Kertiwindu dan Strategi Pemberontakan

raden-parikesit

Gambar Parikesit

Ki Enthus Susmono membawakan cerita dengan mencoba memunggungi pakem pedalangan malam itu. Dia sedikit mengobrak-abrik pondasi idiologis feodalisme di lakon “Parikesit Jumeneng Ratu” ini. Sebagaimana yang sering Ki Enthus lakukan dalam setiap pertujukan, konflik langsung ditampilkan diawal cerita. Itu ciri khas Ki Enthus yang membuat penonton langsung dibawa dalam ketegangan inti cerita.

Adegan dibuka dengan kedatangan Kertiwindu anak dari Sengkuni dan Danyang Suwela anak dari Aswatama yang sowan ke Kerajaan Hima Himalaya untuk menemui Prabu Miwotokawoco. Kertiwindu memang mewarisi kepandaian dan kepintaran sang ayah Sengkuni. Terlahir dan besar di tengah perang Baratayudha membuatnya lihai dalam strategi perang. Berbagai pengalaman telah membentuk pengetahuan Kertiwindu.

Kerajaan Hima Himalaya adalah kerajaan yang tandus, itu berbeda dengan kerajaan Astina yang “gemah ripah loh jinawi”. Kertiwindu memberitahukan ke Prabu Miwotokawoco bahwa Astina sedang kisruh. Transformasi kekuasaan ke Parikesit telah membuat ketidakpercayaan ditengah rakyat.

Kertiwindu mengatakan bahwa “Parikesit itu karbitan, calon Raja yang pengalamannya cupet dan sedikit pengetahuan. Elit-elit Astina dan Kresna yang meng-make-up Parikesit supaya kelihatan pintar dan berwibawa, tapi rakyat tau akan ketidakmampuan Parikesit”.

Singkat cerita Kertiwindu mengatakan bahwa momen tersebut adalah kesempatan bagi Miwotokawoco untuk merebut kemerdekaan dari Negeri Astina. Sebab, negara Hima Himalaya adalah jajahan dari Astina dan selalu terpinggirkan dalam pengambilan kebijakan.

Mendapat kabar dari Kertiwindu, Prabu Miwotokawoco senang bukan main. Dia girang karena ini kesempatan untuk merebut kekuasaan dari tangan Parikesit. Dia akan menyerang langsung ke jantung keraton Astina, tapi Kertiwindu melarangnya. Kertiwindu mengatakan bahwa kekuatan negeri Hima Himalaya masih lemah tidak mungkin dapat menandingi negeri Astina yang begitu kuat dengan pasukan yang lengkap. Dia menyuruh Miwotokawoco untuk menyerang lumbung pangan Astina supaya negara makin kisruh. Jika rakyat Astina lapar dan mengalami krisis maka pemerintahan Astina akan bergejolak hingga akhirnya akan mampu membuat Parikesit lengser.

Ditempat yang lain, di Kraton Astina tengah terjadi rapat akbar. Para pejabat tengah berkumpul untuk membahas krisis di Astina dan pelantikan Parikesit. Parikesit mulai membuka rapat dan mengungkapkan kegelisahannya atas terjadinya berbagai kerusuhan. Semar sebagai lurah Karangkadempel datang dan menyampaikan pendapatnya atas permasalahan di Astina. Semar mengatakan “berbagai keributan yang terjadi saat ini itu karena masalah kelaparan dan pengangguran yang meluas. Astina itu negara Agraris dan Maritim harusnya kebijakan negara memfokuskan pada sektor itu. Kalau pertanian tidak diurusi dengan serius maka pertanian akan tidal lagi menjanjikan kehidupan dan hal tersebut akan membuat pemuda meninggalkan dunia pertanian”.

Semar mengkritisi masalah keberpihakan kebijakan yang dilakukan oleh negara Astina. Semar menambahkan bahwa “kalimasadha (kalau di Indonesia Pancasila dan UUD 45) sekarang sudah banyak yang menyepelekan. Rasa kemanusiaan ditengah masyarakat dan laku gotong-royong sudah hampir hilang. Para pejabat banyak yang bergerak berlawanan dengan kalimasadha ini. Itu yang membuat Astina pontang-panting”.

Semar juga mengadu bahwa desanya Karangkadempel akan digusur paksa untuk meloloskan proyek atas nama pembangunan. Padahal mayoritas warga desanya menolak digusur dan tidak mau dengan proses ganti-rugi. Sehingga pada akhir penyampaian pendapat, Semar mengingatkan bahwa sebentar lagi Astina akan hancur jika tetap tidak berpatokan pada Kalimasadha dan memerintah Parikesit untuk menjalankan Kalimasadha secara menyeluruh tidak bisa tidak.

Pernyataan keras dari Semar tersebut membuat telinga Arya Dwara (patih Astina) merah. Arya Dwara menggertak Semar dan menganggap Semar lancang karena memerintah seorang Raja. Semar bersama keluarga mereka (Punakawan) kemudian diusir dari Astina dan desa Karangkadempel akan digusur paksa. Parikesit serta para pejabat yang ada dalam rapat akbar tersebut menyetujui tindakan Arya Dwara. Akhirnya Semar harus pergi angkat kaki dari Negeri Astina, negeri yang sangat di cintai karena tanah kelahirannya.

Tentang Kekuasaan dan Menyerang Dari Pinggiran

Setelah menemui Prabu Miwotokawoco Kertiwindu dan Danyang Suwelo sowan ke kadipaten Pancawala untuk menemui Adipati Pancakusuma (cucu Yudistira atau Puntadewa). Kedatangan mendadak Kertiwindu dan Danyang Suwelo membuat Pancakusuma kaget. Setelah memperkenalkan diri akhirnya Kertiwindu mulai bertanya ke Pancakusuma tentang apakah dia menerima surat undangan ke acara pelantikan Parikesit. Pancakusuma mengatakaan bahwa dia mendapatkannya dan berencana membuat iring-iringan besar untuk pesta pelantikan Parikesit.

Kertiwindu kemudian bertanya pada Pancakusuma “lah bukannya yang berhak atas tahta Astina itu Adipati Pancakusuma? Tapi kok malah Parikesit yang dilantik? Kan raden Pancakusuma yang keturunan dari Puntadhewa raja Astina tapi mengapa Parikesit yang keturunan Arjuna?

aku juga tahu bahwa aku memang yang berhak atas tahta negeri Astina, tapi aku sudah tanda tangan bahwa Parikesit yang menjadi raja disana, karena Abimanyu ayah Parikesit telah membela kakek Puntadewa sampai menghembuskan nafas terakhirnya dalam perang Baratayudha. Selain itu aku juga tidak haus kekuasaan” jawab Adipati Pancakusuma dengan mata melotot dan suara agak lantang karena menganggap Kertiwindu mengadu domba dirinya dengan Parikesit.

Mendengar ucapan dari Pancakusuma, Kertiwindu berkata “apakah raden tau bahwa yang membunuh Pancawala ayah raden Pancakusuma itu bukan Aswatama? Itu hanya karangan Kresna, dan raden dibohongi. Kebenaran harus diungkapkan den walaupun pahit dan saya hari ini akan mengungkap kebenaran tersebut bahwa otak dibalik pembunuhan ayah raden Pancakusuma adalah Kresna sendiri”

Mendengar berita dari Kertiwindu membuat Pancakusuma kaget bukan kepalang. Kertiwindu kemudian memerintahkan Danyang Suwela anak dari Aswatama untuk membeberkan fakta dibalik terbunuhnya Pancawala. Danyang Suwela membawa bukti sebuah prasasti yang ditulis Aswatama sang Ayah sebelum mati dan juga daun lontar yang berisi surat perjanjian antara Aswatama dan Kresna. Didua alat bukti tersebut menjelaskan bahwa Kresna adalah otak dibelakang pembunuhan Pancawala.

Peristiwa terbunuhnya Pancawala di pewayangan ditampilkan dalam lakon “Aswatama Nglandak”. Diceritakan bahwa Aswatama menggali terowongan didalam bumi (ngesong bumi)  dengan pusaka Cunda Manik pemberian dari dewi Wilutama ibunya hingga terowongan tersebut tembus ke pendapa kraton Pancala. Disana kemudian Aswatama keluar dan menikam prabu Pancawala hingga mati.

Kertiwindu mengungkapkan tindakan dari Aswatama tersebut adalah suruhan dari Kresna. Ditengah perang Baratayudha Aswatama sedang kebingungan karena diusir oleh Kurawa karena dianggap penghianat. Dia menjadi gelandangan karena juga takut ke Amarta karena pasti akan dibunuh oleh Pandawa. Ditengah ketidakpastian dan kegundahan Aswatama bertemu Kresna dijalan. Kresna menjanjikan kehidupan layak pada Aswatama jika dia mau mengikuti perintahnya.

Kertiwindu lebih lanjut menjelaskan bahwa “Kresna memerintah pada Aswatama supaya keturunan Puntadewa dibunuh kanti dasar yang membunuh pandita Durna niku Trenajumpeno atau Pancawala. Yang terakhir kresna berpikir kalau keturunan Puntadewa masih hidup maka raja Astina tetap akan direbut oleh keturunannya, sedangkan kresna punya ambisi sendiri bahwa yang menjadi Ratu harus keturunan dari darah Yadawa. Kresna punya adik Wara Sembadra dinikahi oleh Arjuna punya anak Abimanyu yg kemudian mati dimedan perang tapi meningalkan seorang anak yang bernama Parikesit. Dengan atas dalih wahyu buat-buatan dan jiwa kestria melindungi Raden Puntadewa, maka engkau raden Pancakusuma disuruh menandatangani surat pernyataan pengambil alihan kekuasaan. Itulah ambisi dan nafsu serakah dari Kresna yang memaksakan Parikesit yang masih ingusan menjadi Raja”.

Mendengar perkataan dari Kertiwindu dan Danyang Suwelo, Pancakusuma menjadi sangat-sangat marah. Kemarahannya tidak lagi ditumpahkan kepada Kertiwindu namun pada Parikesit. Dengan seketika dia berubah (tiwikrama) menjadi raksasa sebesar gunung. Dia merasa dikhianati.

“Negeri Astina hari ini juga akan saya hancur-leburkan dari muka bumi dan Parikesit akan aku kemah-kemah hingga menjadi debu” ujar Pancakusuma dengan suara lantang.

Tapi Kertiwindu secara cepat melarang tindakan Pancakusuma. “ee…eeee.e.. sabar… sabar… raden. Di Astina sedang ada raja-raja dari 1000 negara serta para investor konglomerat yang tengah hadir untuk menyambut diangkatnya Parikesit. Jadi kalau Adipati Pancakusuma kesana hari ini pasti akan kalah” ungkap Kertiwindu untuk melerai kemarahan Pancakusuma. “ibarat mancing ikannya tapi sebisa mungkin tetep bening airnya” Kertiwindu menambahi. Dan memberi masukan agar Adipati Pancakusuma menggagalkan pengangkatan Parikesit ketika acara pesta akbar dilakukan di Astina yaitu dengan membunuh Parikesit. Usul tersebut diterima oleh Pancakusuma.

Pancakusuma begitu sangat kesal merasa dikhianati orang yang selama ini dia percayai dan banggakan yaitu Kresna. Buku “Kresna Yana” yang dia kagumi selama ini ternyata adalah kumpulan kebohongan Kresna yang isinya hanya membagus-baguskan Kresna semata. Kertiwindu kemudian menyuruh Pancakusuma untuk membaca buku “Boma Parwa” sebagai cover both side tentang tindakan Kresna kepada Bomanerokosuro yang ditulis sendiri oleh Bomanerakasuro.

Geger Astina: Krisis Pangan dan Kerusuhan

Keadaan negeri Astina semakin dalam ketidakpastian dan krisis multidimensional. Aksi yang dilakukan oleh Prabu Miwotokawoco dan punggawa kerajaan Hima Himalaya dengan menghancurkan lumbung pangan serta menebangi pohon hingga mematikan sumber mata air di negeri Astina telah membuat rakyat Astina kelabakan. Rakyat tumpah ruah kejalan-jalan melakukan protes terhadap pemerintah Astina. Kerusuhan dimana-mana disegala penjuru Astina tidak dapat dielakan lagi, Rakyat melakukan penjarahan, membakar rumah-rumah dan luapan kemarahan lain.

Parikesit mengalami kebingunan. Semar yang merupakan penasihat negara di Astina selama ini telah terlanjur dia usir. Padahal Semar, Gareng, Petruk & Bagong selalu memberikan masukan-masukan penting dalam menghadapi berbagai masalah di Astina selama ini. Disisi yang lain Semar sangat nggonduk atau kuciwo dengan ulah para pejabat Astina yang tak mendengar aspirasi rakyat. Aspirasi mereka bahkan tidak dianggap.

Hari-hari pelantikan Parikesit yang tinggal menghitung hari dan krisis yang semakin membesar, telah membuat Astina diambang kehancuran. Parikesit mengerahkan bala tentara dan para kesatria mereka untuk menangani konflik. Dewi Sri Tanjung anak dari Raden Sadewa diutus Parikesit untuk menemui Semar karena Semar menolak untuk ditemui Parikesit. Sri Tanjung disuruh menyampaikan kepada Semar bahwa dia akan menjalankan Kalimasadha sebagaimana mestinya dan tak akan menggusur Karangkadempel serta akan menjalakan mandat rakyat sebagaimana mestinya.

Singkat cerita, Dewi Sri Tanjung menemui Semar dirumah Anoman. Semar menyetujui komitmen politik dari Parikesit. Semar bersama Gareng, Petruk dan Bagong bersama rakyat lainnya akhirnya kembali ke Astina dan membantu mengelesaikan krisis yang tengah terjadi disana. Ditempat yang lain bala pasukan Astina menggempur negeri Hima Himalaya setelah mengetahui bahwa mereka yang berulah atas terjadinya krisis di Astina itu.

Pas dihari acara pelantikan digelar, kericuhan di Astina sedikit mereka. Pancakusuma datang keacara tersebut bersama 1000 pejabat dan konglomerat dari negara lainnya. Ketika mendekati Parikesit untuk menyalami dan memberikan ucapan selamat, Pancakusuma tetiba tiwikrama menjadi raksasa besar. Bumi Astina tergoncang menyambut perubahan wujud dari Pancakusuma. Suaranya lantang bagai angin topan yang menderu-deru. Seluruh isi istana kelabakan. “kau telah menipuku Parikesit, aku yang harusnya berhak atas tahta Astina. Kalian telah menghianati aku” ujar Pancakusuma yang sedang berupaya memakan Parikesit yang hanya sebesar jempol kakinya.

Semar datang pada waktu yang tepat. Dengan seketika dia juga melakukan tiwikrama menjadi raksasa yang besar juga. Pancakusuma kemudian dihalangi dan dimarahi oleh Semar. Pancakusuma mencoba melawan Semar tapi dia bukanlah lawan tanding Semar, dia kalah dengan mudah. Semar mengejawantah Pancakusuma dan Parikesit bahwa jangan saling berebut kekuasaan tapi yang terpenting adalah menjalankan Kalimasadha yaitu “dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”.

Diakhir cerita Pancakusuma kemudian menangkap Kertiwindu. Kertiwindu diikat kaki dan tangannya dengan dua kuda dan ditarik hingga terbelah menjadi dua bagian. Kertiwindu akhirnyy mati dengan mengenaskan.

kresna24

Gambar Kresna

sengkuni2

Gambar Sengkuni

Apa Yang Dapat Dipetik?

Pertunjukan Wayang dengan lakon “Parikesit Jumeneng Ratu” yang dibawakan oleh Ki Enthus Susmono telah memikatku untuk menontonnya sampai selesai bersama ratusan masyarakat Jogja lainnya. Gaya dan versi berbeda yang dibawakan oleh Ki Enthus telah membuat cerita “Parikesit Jumeneng Ratu” ini begitu
hidup karena dekat dengan persoalan yang dialami masyarakat akhir-akhir ini.

Wayang memang bebas untuk diceritakan, sesuai interpretasi masing-masing dalang ataupun penontonnya. Cerita yang dibawakan Ki Enthus malam itu adalah penggambaran akan sebuah negeri yang mengalami krisis akut akibat tidak menjalankan kehendak rakyat, negeri yang mengalami kekacauan akibat ulah korup para pejabatnya atau jaman dimana ketidakpastian hidup terjadi dimana-mana yang telah melahirkan berbagai kemarahan dan kerusuhan.

Yang menarik menurutku adalah peran yang dibawa oleh Kertiwindu anak dari Sengkuni. Kertiwindu adalah seorang intelektual dan pemikir ulung. Sebagaimana seperti ayahnya Raden Sengkuni dari desa Gandara, Kertiwindu adalah seorang manusia biasa, tanpa kelebihan yang dikaruniakan oleh para Dewa. Itu jelas berbeda dengan Kresna dengan berbagai kelebihannya. Sengkuni dan Kertiwindu selalu digambarkan sebagai sosok jahat yang licik  berbanding terbalik dengan Kresna sebagai sumber kebaikan, kebijaksanaan dan pahlawan penumpas segala ketidakadilan.

Posisi Kresna sebenarnya adalah sangat politis. Dalam cerita dia sangat dekat dengan yang maha kuasa dan pencipta laku kehidupan yaitu para dewa-dewi. Kresna sudah tau tentang takdir yang akan terjadi, termasuk takdir bahwa Perang Baratayudha akan dimenangkan oleh Pandawa. Prabu Baladewa disuruh bertapa di air terjun ketika perang Baratayudha berlangsung, Antareja dan Antasena yang merupakan anak dari Werkudara (panenggak Pandawa) disuruh bunuh diri ketika Bratayudha Jayabinangun akan segera dimulai.  Itu semua atas nama takdir yang sudah diketahui Kresna, karena Kresna menganggap tiga orang tersebut jika bertarung akan dapat mengganggu jalannya takdir.

Sedangkan posisi Sengkuni dan sang anak Kertiwindu? Mereka berdua adalah wujud dari manusia sebenarnya. Manusia yang memiliki sifat iri dan dengki. Mereka memeras otak mereka untuk menyusun berbagai strategi dan bertahan hidup. Sengkuni seorang manusia biasa yang terlahir didesa pinggiran, menjadi sangat pandai karena pengalamannya dan dia terus ngangsu kawruh keberbagai guru dan tempat. Strategi perangnya memang sangat luar biasa. Seperti apa yang dilakukan Kertiwindu ketika memberontak negeri Astina.

Namun apa daya, sekali lagi Sengkuni dan Kertiwindu hanyalah manusia biasa sedangkan mereka harus berhadapan dengan Kresna yang mendapat keistimewaan berbagai ilmu, pusaka, membaca takdir dan dekat dengan pusat-pusat pengambilan keputusan. Sepandai dan secerdik apapun Sengkuni dan Kertiwindu pasti dikalahkan oleh Kresna dalam berbagai Cerita Mahabarata. Taktik dua Sang Pemikir tersebut yang pasti telah membuat sang dewata dan pembuat takdir kelabakan.

Dimana pun tempatnya disegala penjuru dunia ini, yang menang pasti akan menuliskan sejarah menurut versi mereka. Dan tidak bisa tidak, lawan mereka didalam sejarah tersebut pasti digambarkan sebagai orang yang sangat jelek dan menjijikan untuk ditiru. Mungkin kalau pihak Sengkuni dan Kertiwindu menang, mungkin mereka akan menggambarkan Kresna sebagai seorang yang sangat licik, kejam, jahat, haus kekuasaan dan sifat jelek lainnya. Dan juga memang benar ucapan Kertiwindu bahwa yang menang perang Baratayudha bukan Pandawa tapi Kresna. Kemudian siapakah yang benar dari cerita tersebut? apakah Kresna atau Sengkuni dan Kertiwindu?

Saya pun tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Namun yang benar bagi saya adalah yang mampu membawa cerita Pewayangan ini diatas bumi manusia yang nyata yang tak bisa melepaskan diri pada nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi dan keadilan.

Pada akhirnya saya munutup ulasan terhadap pertunjukan wayang “Parikesit Jumeneng Ratu” ini bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” QS 13:11

*** Ulasan atau catatan tentang pertunjukan “Parikesit Jumeneng Ratu” yang dibawakan oleh Ki Enthus Susmono pada 05 September di TVRI Jogja ini mendapatkan tambahan bahan dari lakon sama yang dibawakan oleh Ki Enthus Susmono di Jawa Timur.

One response to “Sang Pemikir & Jiwa-jiwa Pemberontak: Membawa Wayang ke Bumi Manusia

Leave a comment