Gelora Nurani – Arif Novianto

Mencoba mengukir lengkokan tinta-tinta perlawanan untuk menyampaikan segala ketidak-adilan dan memperjuangkan kebenaran

Tag Archives: Demokrasi Liberal

Defisit Demokrasi Perwakilan

Sinar Harapan 29 Oktober 2014

Doc: Epaper Sinar Harapan 29 Oktober 2014

Sidang paripurna Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang berlangsung pada 26 September 2014 kembali mencuatkan pertanyaan besar tentang keberpihakan wakil rakyat serta relevansi demokrasi perwakilan.

Itu karena berdasarkan opini publik, mayoritas rakyat Indonesia menyetujui pilkada langsung. Alhasil, mereka merasa dikhianati wakilnya di parlemen. Intrik politik serta mekanisme voting di sidang paripurna telah memutuskan pilkada melalui DPRD, artinya bertolak belakang dengan kehendak mayoritas rakyat.

Ini berarti rakyat dalam konteks demokrasi liberal di Indonesia sekarang ini tidak lagi berkuasa sebagaimana seharusnya. Melalui sistem demokrasi keterwakilan, rakyat harus menyerahkan aspirasi dan sikap politiknya kepada yang namanya wakil rakyat. Sebelumnya, pemilu digunakan untuk menentukan para wakil rakyat ini. Keadaan tersebut membuat suara rakyat terfilterisasi menjadi hanya sebagai tuntutan kepada wakil rakyat agar mendengarkan aspirasi mereka.

Ketika para wakil rakyat tidak memenuhi aspirasi dari rakyat yang memilihnya menjadi wakil di pemilu, dalam sistem demokrasi liberal ini, rakyat tidak dapat serta-merta mencabut dukungan suaranya. Artinya, suara dari rakyat tidak dapat ditarik kembali atau rakyat tidak memiliki kedaulatan untuk mengganti para wakilnya yang tidak selaras dengan aspirasi mereka.

Read more of this post

Bertameng Pada Soekarno

Malang Post 17 Oktober 2014

Doc: Epaper Malang Post 17 Oktober 2014

Hasil sidang paripurna yang pada 26 september 2014 kemarin telah secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) pilkada yang berarti pilkada tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat akan tetapi melalui DPRD. Pada sidang paripurna tersebut, Koalisi Merah Putih (KMP) yang terbentuk sejak pilpres 2014 dengan mengusung Prabowo – Hatta berhasil memenangkan voting sebesar 226 suara, sedangkan koalisi yang mendukung Jokowi – JK di pilpres hanya memperoleh 135 suara.

Proses pilkada melalui DPRD yang disetujui tersebut seperti sebuah pengulangan sejarah terhadap proses pilkada pada masa orde baru. Cukup kontradiktif memang, karena perjuangan hingga berhasil dilaksanakannya pilkada langsung oleh rakyat adalah salah satu buah dari reformasi 1998 yang menggulingkan orba. Akan tetapi hanya berselang kurang lebih 12 tahun, proses tersebut harus dikhianati.

Memang dalam proses pemilihan secara langsung ataupun melalui DPRD adalah bagian dari demokrasi. Namun mengabaikan sebuah langkah maju transformasi adalah sebuah kedunguan. Transformasi positif dari pilkada langsung oleh rakyat tersebut dapat terlihat dari bagaimana mulai timbulnya kesadaran politik rakyat dalam memilih pemimpin. Artinya esensi demokrasi sejati sebenarnya adalah keterlibatan seluruh rakyat dalam kehidupan politik bermasyarakat dan bernegara. Ketika keterlibatan aktif tersebut di potong (seperti pemilihan lewat DPRD), berarti membuat demokrasi kita harus berjalan mundur.

Read more of this post

Defisit Demokrasi Plutokrat

Revolusi rakyat melawan demokrasi elit prutokrat berbahaya gerakan perlawanan menentang dianalogikan dalam caturDEMOS alias rakyat dalam demokrasi liberal di Indonesia sekarang ini, tidak benar-benar menjadi pemegang tampuk ke­kuasa­an tertinggi, yang dapat menentukan berbagai kepentingannya menjadi sebuah kebijak­an. Rak­yat selalu menyerahkan nasibnya pada wakil rakyat. Itulah proses demokrasi perwakilan.

Dengan demikian, suara rakyat telah terfilterisasi menjadi tuntutan kepada wakil rakyat di peme­rintahan untuk mendengarkan dan memperjuangkan suara me­reka. Ketika para wakil rakyat tak pernah menghiraukan suara rak­yat ini, maka itulah yang dinama­kan fenomena defisit dalam demokrasi. 

Defisit demokrasi ini kemudian menjadikan demokrasi perwakilan tak pernah berjalan berkelanjutan. Menurut Daniel Schugu­rensky (2004), demokrasi perwakilan yang diselenggarakan lima tahunan sekali (seperti di Indonesia), hanya benar-benar terjadi ketika rakyat berada dalam kotak suara untuk memberikan hak pilih mereka pada pemilihan umum. Setelah proses pemilu berakhir dengan membawa hasil pemenangnya, rakyat kembali melakukan kegiatan sehari-hari seperti biasa, seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Artinya, pemilu dalam konteks demokrasi liberal tidak akan pernah dapat mempersatukan ma­syarakat untuk sadar akan keku­asaan tertinggi mereka dalam sistem demokrasi ini. Proses pemilu bahkan menjadi ajang tercerai-berainya individu-individu serta mencegah kekuasaan kolektif dari masyarakat (Gorzt, 2005: 121). Sehingga pemilu tak lebih dari proses justifikasi terhadap pemerintahan (kratos) yang tak berdasar pada rakyat (demos).
Read more of this post

Dinamika Politik Populis

Banjarmasin Post 22 Maret 2014 dinamika politik populis

Doc: Epapaer Banjarmasin Post 22 Maret 2014

Populisme merupakan sebuah problematika yang dilematis didalam aras demokrasi seperti sekarang ini. Di Indonesia sekarang ini, banyak muncul tokoh-tokoh yang dianggap populis seperti Joko Widodo (Jokowi), Tri Rismawati ataupun Dahlan iskan. Artinya semakin suatu Negara terjerembab didalam badai krisis yang besar, maka disana rakyat akan mencari-cari para pemimpin-pemimpin yang dianggap populis.

Didalam konteks demokrasi saat ini, ketika suatu masyarakat tak memiliki kepemimpinan, maka yang terjadi adalah kekacauan dan tak adanya manajemen konflik. Posisi populisme disini adalah sebuah seperangkat kepercayaan masyarakat akan pemimpin yang dianggap dapat mengangkat hidup mereka . Merujuk pada kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), istilah populisme ini dimaknai sebagai “paham yg mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil”.

Namun yang perlu mendapatkan penekanan disini adalah bahwa kepopuler bukanlah satu bagian dari populisme, ketika kepopuleran tersebut tak terejawantahkan melalui kepemimpinan yang membela rakyat kecil dengan seperangkat kebijakannya. Seperti contoh bahwa Olga Saputra ataupun Raffi Ahmad tak dapat dipungkiri adalah sosok yang populer, namun mereka bukanlah termasuk didalam populisme ini.

Read more of this post

Politik Tanpa Etika

Lampung Post 18 Februari 2014 a

Doc: Epaper Lampung Post 18 Februari 2014

Didalam dinamika demokrasi yang tengah kita arungi pada pasca-reformasi sampai sekarang, berbagai kegaduhan demi kegaduhan menjadi bagian yang tak terpisahkan darinya. Ruang publik seolang dipenuhi dengan keributan-keributan didalam mencari sebuah konsesus. Berbagai opini pun saling bertarung di ruang publik dengan mengatasnamakan suara publik. Padahal bila ditelisik lebih mendalam, opini tersebut adalah suara kepentingan pribadi yang digoreng dengan kekuatan kapital hingga kemudian berwujud kepalsuan suara publik.

Akan tetapi, kegaduhan didalam kerangka sistem demokrasi tersebut tak mungkin untuk dihindari atau bahkan dihilangkan. Menghilangkan kegaduhan didalam arena demokrasi tak lain adalah bagian dari pendestruksian demokrasi. Kita dapat berkaca pada rezim Pinochet di Chile, Syah di Iran ataupun Soeharto di Indonesia, memperlihatkan bagaimana penghilangan kegaduhan di ruang publik adalah manifestasi dari sebuah Kediktatoran. Demokrasi pun seolah menjadi jargon omong kosong, yang dimana suara publik yang bertentangan dibungkam dengan represif demi kekuasaan yang tak terkontrol.

Artinya kegaduhan di ruang publik untuk mencari sebuah keputusan yang menaungi hajat hidup rakyat itu diperlukan. Yaitu sebagai bagian perjuangan politik dari berbagai lini masyarakat untuk meraih transformasi perbaikan atau demi kepentingan masyarakat tersebut secara luas.

Read more of this post

Kebuntuan Pendekatan Administratif dalam Menghadapi Korupsi di Tengah Kapitalisme dan Demokrasi Liberal

Abstrak

Permasalahan korupsi kini telah memporak-porandakan kehidupan bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Korupsi yang sistemik telah menciptakan guncangan dasyat di berbagai bidang pemerintahan. Berbagai solusi dan percepatan pembarantasan korupsi terus menemui jalan kebuntuan, karena luar biasanya permasalahan korupsi di Indonesia sekarang ini. Kebijakan pemerintah yang lebih condong melihat korupsi secara moralis yaitu dengan kebijakan meningkatkan gaji PNS didalam menghambat munculnya korupsi atau melalui pendekatan administratif telah menciptakan masalah tersendiri. Dan bagi penulis solusi tersebut hanya akan menciptakan kebuntuan dan kesia-siaan. Itu karena lemahnya analisis moralis dan pendekatan administratif didalam melihat korupsi ditengah Kapitalisme dan Demokrasi sekarang ini. Sehingga pada tulisan ini, penulis berusaha mengelaborasi faktor-faktor apa saja yang menciptakan kebuntuan pendekatan administratif ini serta apa kelemahan analisis moralis dan pendekatan administratif didalam melihat korupsi sebagai masalah.

Keyword: Korupsi di Indonesia, analisis moralis, pendekatan administratif, kapitalisme dan demokrasi.

 

Pendahuluan

Permasalahan korupsi adalah permasalahan utama yang pasti dihadapi oleh Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia, permasalahan korupsi sudah hadir dan mengemuka sejak Negara-bangsa ini belum terbentuk hingga sekarang ini. Sejarah kasus korupsi di Indonesia pernah menjadi perdebatan hangat yaitu antara Furnivall dan Smith (Bawsir, 2003). Furnivall menyatakan bahwa didalam masa kolonial, kasus korupsi tidak pernah ada. Dan pernyataan tersebut kemudian dibantah dengan keras oleh Smith yang mengutip Day, yang mengemukakan sejumlah contoh yang mengungkapkan cukup meluasnya tindakan korupsi di bawah pemerintahan Hindia Belanda yang dilakukan oleh para pejabat kolonial. Artinya korupsi yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan tidak merupakan barang baru di Indonesia ini.

            Read more of this post

Tersingkirnya Suara Publik

Karikatur kampanye elit media opini publik suara rakyat mempengaruhi pilihan pemilu

Doc: Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit

Demokrasi yang menekankan kekuasaan ditangan rakyat (demos), seolah tak berlaku lagi di konteks iklim politik Indonesia sekarang ini. Demokrasi telah dibajak para elit, sedangkan rakyat hanya menjadi penonton didalamnya.

Suara rakyat hanya teraplikasikan dikantong-kantong setiap ajang kontestasi politik, itupun bukan suara murninya. Namun sudah diolah dengan iklan-iklan, politik uang, dan berbagai opini di media massa. Akhirnya didalam setiap aras pengambilan kebijakan, suara rakyat pun absen didalamnya. Mereka telah terwakili oleh wakilnya di legislatif dan eksekutif yang sering kali tidak menjadi perwujudan suaranya.

Opini Elit

Didalam pembuatan kebijakan, policy makers (Pembuat kebijakan) memanifestasikan rakyat yang merupakan target group kebijakan sering kali melalui penyaringan opini publik. Opini publik ini sendiri merupakan pendapat atau sikap para konstituen (warganegara dengan hak pilih) terhadap berbagai isu tentang penyelenggaraan pemerintahan. Tetapi kemudian pertanyaannya adalah apakah publik benar-benar dapat berpendapat dan beropini serta menentukan pilihannya? Murnikah pendapat dan pilihan dari publik tersebut?

Read more of this post

Tergusurnya Politik oleh Mekanisme Pasar

politik tergusur mekanisme pasar hilangnya politikMendengar kata “politik”, sebagian besar masyarakat awam di Indonesia sekarang ini pasti akan merujuk kepada konflik kepentingan (dalam arti negatif), perilaku koruptif dan manipulatif yang dilakukan oleh para pejabat publik untuk kepentingan kekuasaannya. Artinya “politik” dianggap sebagai barang haram yang selalu lekat dengan efek negatif didalamnya. Frame berfikir tersebut tak terlepas dari sokongan pemberitaan di media yang secara tidak langsung menyelaraskan politik ini dengan tindakan negatif yang menyimpang.

Tetapi apakah benar politik seperti itu? di mana telah membuat kemandulan pada sistem pemerintahan kita dan telah mengarah ke tindakan-tindakan menyimpang yang dapat kita lihat sekarang ini? seperti perilaku korupsi dan manipulasi, ketidakberpihakan kebijakan kepada rakyat dan porak-porandanya sistem demokrasi ini?

Bagi penulis adalah tidak. Karena fenomena yang tengah terjadi di dalam aras gejolak demokrasi di Indonesia sekarang ini bukan peristiwa yang disebabkan oleh politik. Akan tetapi karena hilangnya politik itu sendiri di dalam relasi demokrasi dan pengambilan keputusan.
Read more of this post

Menggugat Demokrasi Teaterikal

topeng politik kemunafikanTeater-teater berlatar kebebasan dan kekuasaan dengan gegap gempita mewarnai pergulatan panjang di dalam gedung Demokrasi Indonesia yang tampak indah mempesona, walaupun berantakan ataupun amburadul didalamnya. Demokrasi telah menyihir sebagian besar manusia untuk mengikuti dan mempercayainya. Dengan lantunan mantra pemenuhan HAM, keterbukaan, dan kebebasan untuk memilih serta dipilih, telah membuat demokrasi seolah sesosok bunga desa nan cantik jelita yang digandrungi banyak orang yang mengetahuinya.

Dalam thesis dari Francis Fukuyama, bahkan menyebutkan bahwa abad ke-21 ini merupakan abadnya Demokrasi Liberal. Artinya bahwa kemenangan telak Demokrasi Liberal atas sistem atau paham yang menjadi pesaingnya selama ini. Yang membuat mantra demokrasi liberal tersebut dengan ganasnya menyihir setiap manusia-manusia diseluruh penjuru dunia untuk mengikutinya, tak terkecuali di Indonesia.

Demokrasi dan Kemunafikan

Bagi Joseph Schumpeter (1942), “democracy is the rule of the politician”. Demokrasi adalah persoalan bagaimana rakyat mentransfer legitimasinya kepada elit-elit politik (perwakilan) melalui proses Pemilu. Artinya setiap elit politik harus legitimed, untuk kemudian dapat memperoleh kepercayaan dari rakyat yang berarti memilihnya didalam proses Pemilu. Akan tetapi pertanyaannya adalah bagaimana agar para elit politik mendapatkan legitimasi dari konstituen? Apa yang harus dilakukan?

Read more of this post