Gelora Nurani – Arif Novianto

Mencoba mengukir lengkokan tinta-tinta perlawanan untuk menyampaikan segala ketidak-adilan dan memperjuangkan kebenaran

Tag Archives: Kampanye Politik

Berpikir Kritis dan Krisis Berpikir

KRJogja 17 Juni 2014

Doc: Epaper KR-Jogja 17 Juni 2014

Geliat ajang kontestasi pemilihan presiden (pilpres) pada 09 Juli 2014 terus mengemuka. Pertarungan politik tidak hanya terjadi ditataran para elit-elit politik nasional, akan tetapi juga  merangsek  ke tingkat masyarakat paling bawah. Ruang-ruang publik kita bahkan dipenuhi dengan obrolan-obrolan yang bersifat serius serta bersifat sendau gurau tentang dinamika pilpres 2014 yang akan mempertarungkan kandidat pasangan Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta ini.

Namun ada hal cukup menggelitik, yaitu terjadinya banalitas berfikir ketika kita menyimak dinamika pilpres ini didalam media sosial seperti Facebook, Twitter serta Kolom komentar berita online. Disana terjadi semacam perdebatan dengan dibumbui ego yang bahkan sampai tak masuk dinalar.

Masing-masing pihak berusaha dengan segala cara menyerang dan membela mati-matian kandidat calon yang dijagokannya. Sebenarnya hal tersebut tidaklah salah atau menyimpang. Akan tetapi penyimpangan yang terjadi adalah pembelaan atau penyerangan yang dilakukan lebih mengarah ke kampanye hitam. Itu terjadi karena argument yang digunakan jauh dari faktualitas serta digunakannya situs berita fiktif yang tak berbasis fakta empiris dan cenderung menyebarkan fitnah sebagai informasi utama.

Read more of this post

Demokrasi dan Komodifikasi Politik

Inilah Koran 11 Maret 2014

Doc: Epaper Inilah Koran 11 Maret 2014

Pemilu 2014 tinggal menghitung hari. Genderang dimulainya kampanye politik pun telah ditabuhkan. Sudut-sudut di ruang publik kita kini dijejali dengan atribut-atribut, poster, baliho, dan iklan-iklan dari partai politik serta para tokoh yang sebagian besar baru kita kenal sekarang ini. Mereka beradu slogan dan program yang mayoritas hampir sama.

Apabila kita bertanya apa tujuan mereka mencalonkan diri, maka jawaban secara umum yang sering terlontar adalah karena mereka merasa terpanggil, atau karena rakyat mememinta mereka untuk maju menjadi pemimpin. Entah siapa rakyat yang mereka maksud tersebut masih bisa diperdebatkan, namun yang jelas diri mereka sendiri juga bagian dari rakyat.

Menjual Nama, Menanggalkan Kualitas

Demokrasi prosedural yang ada sekarang ini mensyaratkan adanya mekanisme demokrasi yang teragenda. Artinya ada semacam sistematisasi terhadap proses pemilihan umum, yang kalau di Indonesia diadakan selama 5 tahun sekali. Sudah dekatnya pemilu pada 2014 nanti, membuat muncul fenomena komodifikasi politik musiman yang tak dapat terhindari di dalam iklim demokrasi liberal sekarang ini.

Read more of this post

Melindungi Pemilih Pemula

Metro Riau 11 Maret 2014

Doc: Epaper Metro Riau 11 Maret 2014

Pesta akbar ajang kontestasi politik didalam iklim demokrasi di Indonesia sebentar lagi akan segera dimulai. Ditahun politik ini, berbagai strategi dan cara dilakukan oleh para calon wakil rakyat serta partai politik untuk bagaimana dapat mempengaruhi pilihan konstituen demi masa depan mereka di parlemen nantinya. Kecenderungan partai politik di Indonesia pada dewasa ini yang tidak berbasis pada kekuatan massa serta cenderung secara kolektif mengabaikan komitmen idiologis dan programatis, membuat partai-partai tersebut harus tercerabut dari lingkaran massa konstituen.

Melihat tercerabutnya partai dari basis konstituen, membuat partai lebih memilih strategi politik instan untuk mengarungi pemilu. Didalam politik instan inilah kampanye bersifat praktis ditonjolkan sebagai alat pembentuk citra (politik pencitraan). Artinya partai-partai ini tidak menggunakan strategi terstruktur dan programatis yang lebih bersifat jangka panjang dan dapat bermanfaat bagi rakyat karena aksi kolektif yang dijalankan.

Secara garis besar upaya-upaya stategi politik instan tersebut adalah untuk dapat membentuk citra positif di mata rakyat, dan terutama sekali adalah pada barisan “masa mengambang” yang sampai pemilihan umum hampir tiba cenderung belum menentukan pilihannya serta mudah terpengaruh oleh politik pencitraan. Barisan masa mengambang ini kebanyakan adalah para pemilih pemula.

Read more of this post

Menggugat Demokrasi Teaterikal

topeng politik kemunafikanTeater-teater berlatar kebebasan dan kekuasaan dengan gegap gempita mewarnai pergulatan panjang di dalam gedung Demokrasi Indonesia yang tampak indah mempesona, walaupun berantakan ataupun amburadul didalamnya. Demokrasi telah menyihir sebagian besar manusia untuk mengikuti dan mempercayainya. Dengan lantunan mantra pemenuhan HAM, keterbukaan, dan kebebasan untuk memilih serta dipilih, telah membuat demokrasi seolah sesosok bunga desa nan cantik jelita yang digandrungi banyak orang yang mengetahuinya.

Dalam thesis dari Francis Fukuyama, bahkan menyebutkan bahwa abad ke-21 ini merupakan abadnya Demokrasi Liberal. Artinya bahwa kemenangan telak Demokrasi Liberal atas sistem atau paham yang menjadi pesaingnya selama ini. Yang membuat mantra demokrasi liberal tersebut dengan ganasnya menyihir setiap manusia-manusia diseluruh penjuru dunia untuk mengikutinya, tak terkecuali di Indonesia.

Demokrasi dan Kemunafikan

Bagi Joseph Schumpeter (1942), “democracy is the rule of the politician”. Demokrasi adalah persoalan bagaimana rakyat mentransfer legitimasinya kepada elit-elit politik (perwakilan) melalui proses Pemilu. Artinya setiap elit politik harus legitimed, untuk kemudian dapat memperoleh kepercayaan dari rakyat yang berarti memilihnya didalam proses Pemilu. Akan tetapi pertanyaannya adalah bagaimana agar para elit politik mendapatkan legitimasi dari konstituen? Apa yang harus dilakukan?

Read more of this post

Membongkar Problematika Politik Pencitraan

politik pencitraan demi kursi pemerintahan

Doc: Inilah.com

Dalam Negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, peran dari Media begitu penting. Baik di dalam membawa berita serta informasi, membawa nilai-nilai pendidikan kepada publik, melakukan pengawasan sosial, memberikan hiburan, dan memediasi pewarisan nilai-nilai antargenerasi (Gazali, 2010). Bahkan Media tersebut, sering disebut sebagai Pilar ke-4 di dalam Rumah besar Demokrasi, setelah lembaga-lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.

Bergulirnya roda Demokrasi yang dibarengi dengan pelaksanaan Pemilihan Umum (PEMILU), untuk memilih setiap pemimpin di tingkat nasional maupun lokal di Indonesia, telah menjadikan media sebagai salah satu alat utama yang digunakan dalam mendukung Kampanye Politik dari para kandidat calon Pemimpin tersebut.

Mengurai akar Politik Pencitraan

Namun, penggunaan berbagai media di dalam mendukung kampanye politik telah banyak disalah artikan dan disalah gunakan, hanya untuk mencapai tujuan sesaat nan pragmatis. Sehingga muncul suatu fenomena yang bernama Politik Pencitraan (Political Imagery).

Politik Pencitraan itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu cara untuk menarik simpati publik dengan menjual hasil-hasil atau pencapaian serta janji-janji semu nan palsu serta mengeksploitasi segala tindakan-tindakan populis yang dibuat-buat dan mengesampingkan berbagai hal-hal yang sebenarnya lebih subtansial dan lebih penting dari pada hanya sekedar mengejar populitaritas citra semata.

Read more of this post