Gelora Nurani – Arif Novianto

Mencoba mengukir lengkokan tinta-tinta perlawanan untuk menyampaikan segala ketidak-adilan dan memperjuangkan kebenaran

Tag Archives: reformasi agraria

Refleksi Hari Tani 2015: Masa Depan Pertanian & Janji Reforma Agraria Jokowi

26-ReformaAgraria-2010

Doc: Nobodycorp Internationale Unltd

“Revolusi Indonesia tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi,”
“Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, Tanah untuk Tani! Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!”
(Pidato Soekarno pada HUT RI 1963)

Bagaimana keadaan petani di Indonesia sekarang ini?
Sudahkan mereka menikmati kemakmuran dari hasil pertaniannya?
Sudahkan petani Indonesia memiliki lahan yang cukup untuk digarap?
Sudahkan anggota keluarga mereka terpenuhi kebutuhan pokok mereka?

Pertanyaan diatas mencoba menelisik keadaan dunia pertanian di Indonesia sampai sekarang ini. Selain itu pertanyaan tersebut juga harus dijawab bersama oleh para petani, organisasi tani, aktivis, akademisi, dan juga pemerintah tentang kemakmuran dari para petani sampai sekarang, kalau memang “belum”, maka menjadi tanggung jawab bersama untuk memperjuangkannya.

Hari tani nasional (HTN) yang akan kita rayakan setiap tahunnya pada 24 September adalah salah satu momentum bersejarah bagi seluruh rakyat Indonesia. Momentum tersebut sejalan dengan lahirnya undang-undang pokok agraria (UU PA) No. 5, tanggal 24 September Tahun 1960. Tujuan pembentukan UUPA adalah untuk “meletakkan dasar-dasar bagi peletakan hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan Rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur”.

Read more of this post

Pilpres 2014 dan Reformasi Agraria

26-ReformaAgraria-2010

Doc: Nobodycorp Internationale Unltd

SEBUAH pameo “Petani teraniaya di negeri lumbung padi” dan “Negeri agraris, ingkari agraria” merupakan sebuah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan tentang bagaimana penderitaan yang dialami petani di negeri yang subur dan kaya sumber daya alam seperti Indonesia ini.

Hakikatnya, kesuburan tanah akan berbanding positif dengan kesejahteraan para petani karena petani bekerja dengan menggunakan tanah sebagai objek utamanya.

Namun, keadaan tersebut berbanding terbalik dengan kondisi para petani di Indonesia sekarang ini. Kondisi pertanian justru mengalami penurunan secara progresif di dalam ekonomi nasional dan sebagai sumber penghidupan para petani. Akibatnya, proses deagrarianisasi pun terjadi, yang dengan para petani mulai meninggalkan pekerjaannya tersebut untuk mencari sumber penghidupan lain.

Itu karena pertanian sudah dianggap tidak lagi sebagai pekerjaan yang dapat memberikan masa depan kehidupan layak bagi keluarga mereka.

Read more of this post

Membangkitkan Roh Reformasi Agraria

Solo Pos 01 April 2014 a reformasi agraria penyingkiran petani

Doc: Epaper Solo Pos 01 April 2014

Beberapa bulan yang lalu, saya pernah diundang menjadi panelis pada suatu acara debat para calon ketua organisasi di salah satu jurusan di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM). Tema diskusi itu cukup menarik karena sesuai dengan konsentrasi bidang yang selama ini digeluti jurusan itu, yaitu tentang reformasi agraria.

Pemilih tema itu memunculkan angin segar seiring semakin hilangnya diskursus reformasi agraria di ranah perdebatan publik. Ternyata masih ada sebagian generasi muda yang berusaha mengangkat agenda yang sangat penting di sektor pertanian ini yang sejak masa Orde Baru sengaja ditenggelamkan.

Namun, saya kaget ketika setelah mendengarkan pemaparan dari para calon kandidat ketua organsiasi di jurusan itu tentang dinamika pengimplementasian reformasi agraria ini. Pemaparan yang disampaikan cenderung sangat formal.

Reformasi agraria seolah-olah hanya dilihat sebagai sebuah agenda yang terlepas dari berbagai kepentingan di dalamnya. Dimensi politik yang merupakan kunci utama terlaksana dan tidaknya reformasi agraria tidak mendapatkan banyak perhatian.

Read more of this post

Ledakan Petani Gurem di Jateng

Koran Muria 03 Maret 2014

Doc: Epaper Koran Muria 03 Maret 2014

Didalam narasi Kapitalisme, kehidupan petani dipandang sebagai penghambat laju pembangunan atau berada dalam anakronisme sejarah. Petani tak lebih sebagai pemasok pangan dalam rantai kapitalisme global, sedangkan kehidupannya dieratkan dengan ketidakberdayaan dan kemelaratan (terutama petani kecil di Negara dunia ke-3).

Ungkapan “hidup segan, mati tak mau” mungkin sangat tepat untuk menggambarkan kehidupan para petani di provinsi Jawa Tengah – Indonesia sekarang ini. Hasil sementara dari sensus pertanian (SP) 2013, menunjukan data yang cukup memprihatinkan. Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Jawa Tengah pada SP 2013 mengalami penurunan 25,65 persen, dibandingkan dengan SP 2003. Yaitu dari 5,771 juta di SP 2003, berkurang menjadi 4,291 juta di SP 20013. Dan dari 4,291 juta rumah tangga usaha tani tersebut, 77,7 persennya adalah petani gurem (lahan kurang dari 0,5 Hektar) atau sebanyak 3,31 juta. Artinya dari 4 rumah tangga usaha pertanian, 3 diantaranya adalah petani gurem. Sungguh sangat memprihatinkan.

Pertanian dan Kemiskinan

            Begitu besarnya jumlah petani Gurem di provinsi Jawa Tengah ini, berimbas pada semakin tingginya angka kemiskinan di Jawa Tengah. Itu karena dengan luas tanah yang kurang dari 0,5 hektar yang dimiliki oleh keluarga petani gurem tersebut, sudah pasti akan sangat menyulitkan mereka untuk menciptakan transformasi kehidupan yang semakin lebih baik lagi dan kemiskinan pun seolah menjadi teman mereka. Apalagi dengan luas tanah hanya sekitar 0,37 hektar sebagaimana data rata-rata kepemilikan luas tanah dari rumah tangga usaha pertanian di SP 2013 ini.

Read more of this post

Masa Depan Pemuda di Pertanian

Lampung Post 06 Desember 2013

Doc: epaper LampungPost 06 Desember 2013

“Petani terlonta-lonta di negeri lumbung padi”, mungkin ungkapan tersebut sesuai dengan keadaan yang dialami para petani Indonesia sekarang ini. Data pada survey pertanian (SP) di tahun 1993 memperlihatkan jumlah petani gurem ada 10,9 juta keluarga, sedangkan pada SP 2003 angka itu naik menjadi 13,7 juta keluarga, bertambah 3,8 juta keluarga dalam 10 tahun. Di Pulau Jawa, dari setiap empat petani, tiga adalah petani gurem (Kompas, 16/05/2013). Meningkatnya jumlah petani gurem dan buruh tani tersebut menjadi penyebab meningkatnya kemiskinan di desa.

Peningkatan jumlah petani gurem tersebut pasti akan melonjak tajam pada SP 2013 ini. Data sementara SP 2013 menunjukan bahwa dari 31,17 juta rumah tangga pertanian pada SP 2003, menagalami penurunan menjadi hanya 26,13 juta rumah tangga pada SP 2013, atau selama 10 tahun Indonesia kehilangan 5,07 juta rumah tangga petani.

Ketiadaan regenerasi di lingkaran pertanian merupakan penyebab utama berkurangnya jumlah petani ini. Artinya keengganan para pemuda untuk menekuni dunia pertanian, merupakan salah satu hal yang melandasi berkurangnya jumlah petani ini.

Read more of this post

Menegakan Kedaulatan Pangan

KRJogja selasa 10 September 2013

Doc: Epaper KRJogja Online

Gonjang-ganjing terus melonjaknya harga kedelai di pasaran, kini telah memenuhi headline di berbagai media dan perbincangan hangat ditengah masyarakat. Kedelai ini sendiri merupakan bahan baku tahu dan tempe yang notabennya merupakan salah satu makanan khas yang digemari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Naiknya harga kedelai, turut berimbas pada naiknya biaya produksi pembuatan tahu dan tempe, yang kemudian menjadikan mahalnya kedua komoditas tersebut dan membuat permintaan dari konsumen pun menurun. Keadaan tersebutlah yang membuat para pengrajin tempe terancam gulung tikar.

Terus simultannya lonjakan harga kedelai dari tahun ke tahun ini dikarenakan terus didektenya kebijakan Pemerintah oleh mekanisme pasar. Hal ini dimulai sejak ditandatanganinya Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF.

Salah satu hasil LoI adalah liberalisasi pertanian dan reformasi BULOG. Kesepakatan itu dituangkan dalam “Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan” (Memorandum of Economic and Financial Policies), yang ditanda tangani Pemerintah Indonesia dengan IMF pada awal tahun 1998 (winarno, 2012).

Read more of this post